Entah apa yang ada dipikiran si Pembina tersebut, membiarkan anak-nya yang ‘cerdas’ itu hidup tanpa rumah. Puluhan bendera-bendera berwarna merah Cuma berserakan bersama puing-puing menggambarkan kalahnya si anak tersebut. Piala-piala yang mengambarkan ‘cerdas’nya si anak dibiarkan berdiri di tempat yang bukan semestinya, bahkan beberapa tanda ‘kecerdasan’ tersebut malah ada yang ikut hancur bersama tembok yang sudah berdiri pada tahun 1921 tersebut.
Ah, Menteng.. kawasan elite sejak dulu memang menjadi primadona bagi orang yang memang memiliki kekuasaan. Tempat berteduh para meener itu memang nyaman dan aman untuk ditinggali, tak usah dipikirkan orang-orang yang tinggal dibalik komplek menteng elite tersebut, yang ada di komplek itu hanyalah ketenangan orang-orang yang punya uang puluhan ribu Gulden.
Komplek yang lengkap dengan segala macam fasilitas penunjangnya, termasuk Klub sepakbolanya. Di kawasan elite tersebut adalah markas klub yg bergabung ke induk sepakbola londo di Jakarta, yaitu VBO. Klub kawasan elite tersebut bernama Voetbalbond Indische Omstraken Sport alias orang bilang VIOS. Fasilitas elite dilengkapi lapangan yang biasa disebut VIOSVELD atau lapanganye VIOS.
Sampai pada akhirnya Persija pindah rumah kedua kalinya ke Menteng tahun 1961. Di lapangan Menteng inilah Persija tinggal lalu memutar kompetisi kehidupannya serta melahirkan ‘anak’ yang siap ditempa menjadi juara. Jika dikisahkan sebagai manusia dan rumahnya, Menteng adalah rumah yang pas untuk orang-orang yang berani menggerakan kaki-kakinya dengan menendang bola untuk Jakarta.
Kebersamaan yang sangat lama mengikatkan hubungan emosional yang sangat dalam bagi penghuni-penghuninya. Tahun berganti tahun, lapangan ini tidak pernah berhenti dengan aktifitasnya menyediakan tempat untuk mereka yang mau menggerakan kaki-kakinya untuk Jakarta. Harapan generasi dari generasi serta prestasi demi prestasi, Menteng sudah mengalaminya dan menyimpan dengan sangat erat kenangan manis ‘anak-anak’ yang menempati lapangan tua itu.
Ketika jaman semakin maju dan modernisasi melanda Jakarta. Menteng yang tua renta masih bisa berdiri di Pusatnya Jakarta. Walau terlihat kumuh dan kumal, Menteng tetaplah Menteng yang dari tahun ke tahun mencoba menghidupi kompetisinya sendiri.
Dan selayaknya ‘Kakek’ yang sudah sangat tua, Menteng akan segera di kirim ke ‘panti jompo’, tempat dimana orang-orang tua berkumpul menghabiskan masa hidupnya, sambil berharap mereka dikenang oleh keturunannya kelak. Tempat dimana ia dikunjungi oleh generasi baru yang ingin melihat gagahnya sang kakek dimasa mudanya atau melihat prestasi si kakek yang sangat-sangat gemilang, bahkan hanya untuk sekedar berteduh sehingga mereka tidak akan melupakan Menteng.
Tapi bukan itu yang diingikan si Pembina. Ratanya Menteng adalah pilihan yang katanya untuk kepentingan orang banyak. Sebagai kakek tua yang sudah tidak mempunyai tenaga untuk melawan, akhirnya segala bentuk perlawanan mereka tumbang di hari Rabu, 26 Juli 2006 tepat jam 10 siang.
Tak ada lagi belas kasihan terhadap tembok-tembok stadion, kayu-kayu yang bertahun-tahun mengikhlaskan ribuan atau jutaan pantat menempel ditubuhnya atau pun piala-piala yang sangat berharga dibanding piala cerdas cermat, adipura ataupun abang-none sekalipun. Semua hancur tanpa ampun.
Cuma kenangan yang melekat di ingatan orang-orang yang menyanyagi Menteng, mencintai Menteng, menemani segala aktifitas Menteng dari tahun ke tahun. Di hari rabu itu semua kenangan yang pernah mereka rasakan yang mereka lihat dulu.. sudah rubuh di tangan Pembina sendiri.
Dihari-hari terakhir itu Persija si penunggu rumah tersebut kembali memakai warna aslinya setelah bertahun-tahun di make-up menjadi jingga oleh si Pembina. Dan diantara puing-puing Menteng, terlihat Persija memeluk rumah yang membesarkannya dengan bersolek untuk terakhir kalinya mengenakan warna merah, sebelum ia kembali di make-up jingga dan dibawa oleh Pembina barunya, tanpa tujuan.
Ya, Selamat Tinggal Menteng . . .
R.I.P Viosveld – Stadion Persija, Menteng (1921-2006)
No comments
Post a Comment