Wednesday, May 29, 2019

Bukan Untuk Di Baca


            Sejak kecil mungkin kita sering diberitahu perihal pentingnya sopan satun. Pada pendidikan taman kanak-kanak bu guru juga terus menerus memberikan pengetahuan dan pembelajaran mengenai sopan satun atau pun tata krama, berlanjut pula ke jenjang sekolah dasar. Bahkan saya atau mungkin kalian bosan mendengar ocehan tetang nilai-nilai sopan satun.
            Pagi ini, gwa dapat pelajaran berharga sekaligus bertanya dalam hati.
            Gwa sedang memainkan pulpen sambil berpikir mengenai sebuah rencana membuat cerita pendek. Handphone gwa taruh persis di samping buku sebagai media gwa menulis semua rencana.
            “assalamualaikum… bok, bok..” suara tamu memanggil nenek gwa dari depan pintu rumah. Oh iya, kenapa nenek gwa dipanggil ”bok”? itu semacam panggilan untuk perempuan yang lebih tua, seperti “bu” mungkin… gwa juga gak tau pasti.
            Gwa yang mendengar pun segera mungkin keluar dan menghampiri sang tamu “Ya… Ada apa? Nenek ada di dalem”. Tetapi tanpa basa-basi dan seakan menghiraukan keberadaan gwa, beliau langsung masuk begitu saja ke dalam rumah dan bertemu nenek gwa. Tak lama kemudia sang tamu kembali pergi tak tau kemana.
            Sadar jikalau sedang berpuasa, gwa pun menahan rasa dongkol di hati. Musabab beliau seperti tak menghormati tuan rumah walaupun lebih tua ia usia nya dibandingkan dengan gwa. Tapi bukankah itu sopan satun? Yang telah diajakarkan sejak kecil.
            Apakah beliau tidak mengajarkan sopan satun kepada anaknya? Atau jangan-jangan hanya mengajarkan tanpa mencontohkan dan menerapkannya dalam kehidupannya sehari-hari?
Pantas saja jikalau masih banyak sampah berserakan di jalan. Sopan satun dan tata krama yang diajarkan sedari kecil saja hanya dianggap pengetahuan yang perlu diterima kuping kanan, lalu dikeluarkan melalui kuping kiri. Padahal itukan salah satu fundamental karakter kepribadian. Apalagi pengetahuan “buang sampah pada tempatnya”.
Jikalau teman-teman membaca tulisan ini dan di kemudian hari menjadi seorang orang tua atau pun guru. Tolonglah, selain kita mengajarkan berbagai pengetahuan terhadap anak/murid, kita juga perlu dan harus mencontohkannya/menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Maaf jika tulisan ini “sok” bijak dan tidak sebagus tulisan orang-orang intelek yang mengerti kaidah penulisan yang benar. Karena bukan rangkaian katanya yang perlu di nilai dan di serap melainkan pesan dibalik pengalaman menjengkelkan di pagi hari ini yang perlu kalian serap dan terima lalu dijalankan bukan sekedar dibaca.

Saturday, May 18, 2019

Bukan Galau Karena Cinta


            Kemarin gwa dateng ke salah satu acara buka bersama ekskul sewaktu SMP, beberapa temen lama gwa juga ikut acara tahunan itu. Acara nya tak jauh berbeda dengan acara buka bersama lainnya, diawali dengan bacaan ayat suci lalu salat magrib terlebih dulu sebelum acara yang ditunggu-tunggu tiba saatnya (makan), setelahnya barulah acara inti yakni semua bercengkrama sembari menghabisi hidangan yang sudah disediakan.
            Setelah itu gwa dan salah satu teman lama izin pulang terlebih dulu, ia mengajak untuk nongkrong sambil menyeruput kopi di kedai kopi langganannya terlebih dulu. Di perjalanan, ia bercerita tentang beberapa teman sewaktu SMP yang tinggal kelas karena beberapa masalah. termasuk dirinya sendiri yang kini khawatir dengan ‘poin’ yang sudah melebihi batas ambang, ditambah surat pernyataan yang sudah berulang kali ditanda tangani.
            Sesaat sampai kedai kopi, “lo mao minum apaan Jak?” gwa pun bingung dan hanya menjawab “samain aje kayak lu” lalu gwa pun disodori daftar menu yang ada. Sebab gwa menggemari Raditya Dika yang suka minum kopi Americano, yasudah itu lah yang gwa pesan. Maklum aja, gwa gak pernah nongkrong… lebih asik di rumah, walau ayah kerap menyuruh gwa untuk gaul ke luar rumah, untuk mencari pengalaman katanya.
            Sembari menunggu pesanan datang, teman gwa mengeluarkan rokoknya dan menawari gwa sebatang rokok. “gwa gak ngerokok..” itu lah jawaban gwa pada tiap orang yang menawari gwa untuk mencoba menghisap sebatang rokok.
            Dari dulu, gwa berteman dengan perokok bahkan juga ‘peminum’. Tapi tidak sekalipun terlintas untuk mencoba semua itu.
            Masa remaja katanya memang masa untuk mencari jati diri, mencoba berbagai hal baru mau yang positif ataupun hal negatif. Mungkin itu yang menyebabkan beberapa teman gwa menjadi perokok aktif yang terkadang juga meneguk ‘minuman’, menikmati pornografi dan bebrapa hal lainnya. Tapi ada pula teman gwa yang sewaktu dulu suka berulah dan badung, sekarang malah menjadi orang yang religi.
            Oke balik ke cerita,
            Sambil menyeruput kopi, gwa ngobrol banyak hal dengannya dan sesekali ia menyinggung untuk gwa mencoba olahan tembakau tersebut. Sampai pada akhirnya hati kecil gwa yang sedari dulu berkata tidak untuk mencoba, entah mengapa menjadi galau. Hal yang pertama kali terpikir di otak gwa hanya meminta pendapat beberapa teman gwa, terutama teman putri karena sekiranya mereka pasti tidak suka dengan pria yang merokok dan punya alasannya tersendiri. Tapi dari beberpa yang gwa tanya via whatsapp tak satu pun ada yang menjawab dan ketika gwa memperhatikan jam ternyata sudah mengarah pukul 22.59 pantas saja mereka tak membalas.
            Kenapa tidak konsultasi dengan orang tua? Karena gwa yakin jawabannya adalah “tidak”. Gwa mencoba untuk bertanya dengan pemikiran yang sepantar dengan gwa, ada yang bilang jikalau ingin bertanya sesuatu hal tentang kehidupan dan teman-teman mu, tanya saja dengan orang yang sepantar dengan umur mu karena mereka tahu bagaimana sifat dan tahu mengenai hal-hal yang berhubungan dengan seumurannya.
            Untung saja, hingga seruput kopi terakhir hati kecil belum menentukan pilihannya.  Sebenarnya yang gwa takuti sehingga membuat galau bukanlah iklan rokok yang mengerikan, melainkan gwa takut menjadi ketagihan setelah mencoba nya kali pertama. Sebab ketika menjadi perokok aktif, sulit untuk berhenti dan uang pun selalu terpakai untuk menghisap si tembakau. Itu kata temen gwa sendiri lohh…
Entah masuk akal atau tidak itu alasan gwa untuk tidak merokok.
Ini merupakan dilema pertama yang berat buat gwa di masa putih abu-abu.  Dan jika gwa berbeda pendapat mengenai hal tersebut dengan anda sebagai penikmat, yaaaa….… sudah.

Friday, May 10, 2019

Berakhayal Di Tengah Laut (Cirebon #3)


                Hari ini adalah hari terakhir gwa di Cirebon. Rencananya pagi ini, gwa kembali mencari nasi jamblang di sekitar GOR Bima tempat masyarakat Cirebon beraktivitas di minggu pagi untuk olah raga atau pun sekedar mencari sarapan seperti gwa.
            Huft… sepertinya gwa masih belum beruntung karena setelah keliling memutari nya gwa juga belum menemui penjual nasi jamblang, yang ada malah penjual nasi bakar dengan lauk ayam bakar. Yasudah lah, nikmati dan syukuri saja yang ada.
              Seusai menyantap makan pagi, Dhea mengajak ke salah satu wisata gua yang ada di Cirebon. Lagi-lagi karena sekiranya akhir pekan sehingga akan banyak pengunjung yang juga datang, gwa pun mencari destinasi lain di sekitar Cirebon.
            “Dhe, sini pantai dimana? Pantai yok” ajak gwa
            Sedikit menjauh dari pusat kota, kami pun sampai di PELABUHAN. PELABUHAN?
            Gwa kira Dhea membawa gwa ke pantai wisata dengan pasir putih dan air laut yang jernih serta banyaknya orang-orang yang bermain selancar.. itu di Bali ya? Hmmmmmm…
            Ternyata ada pantai wisata yang terselip diantara pelabuhan dan juga hutan bakau. Airnya juga tidak terlalu jernih karena aktivitas kapal nelayan dan juga kapal besar yang berlalu lalang di tengah laut sana. Tetapi banyak juga wisatawan yang bermain air di bibir pantai. Ada juga yang lebih memilih naik perahu nelayan hingga ke tengah laut, ya… hanya sekedar melihat lautan. Dan ada juga yang memancing di atas tembok pemecah ombak.
            Itulah pilihan gwa. Bukan mancing, bukan juga naik perahu, apa lagi berenang… toh rencana dadakan, mana bawa baju ganti, hmmmmm…
            Duduk di atas tumpukan batu sebagai tembok pemecah ombak sambil melihat para pemancing yang mencari ikan dan kapal-kapal besar yang berlalu lalang di tengah laut adalah pilihan gwa.
            Tak lupa juga gwa dan Dhea kembali berakhayal tentang pertemanan jauh kami ber-12 (Gwa, Dhea, Azka, Rzya, Risat, Adnan, Rafi, Denis, Widya, Fudin, Metha dan Indah). Gwa membuka google maps. Lalu mencari arah dimana Bengkulu, Pulau Bangka, Padang, Jakarta, Bekasi, Cilegon, Garut, Pekalongan, Ngawi, Banjarmasin dan Balikpapan, Cirebon jangan sampai lupa ya…
            Lalu, gwa merekam sebuah vidio sambil mengarahkan lensa kamera kearah kota-kota tempat kami tinggal hingga klimaks-nya “nanti kita kumpul disana… (menunjuk ke laut lepas)”. Ya bila ingin di cari tengah-tengahnya hanya laut Jawa jawabannya.
            Sinar mentari mulai menyengat pori-pori kulit, kembali ke rumah Dhea adalah pilihan terbaik. Sembari jalan, mata melirik kiri dan juga kanan memperhatikan jalan juga warung nasi jamblang, hehehehe… tapi tak juga ketemu.
            Setelah sampai hal yang pertama terpikirkan adalah istirahat, karena nanti malam gwa gak mau tidur di kereta.
            Saat terbangun dari tidur, mentari sudah tak lagi diatas kepala. Mandi dan packing kembali lalu menghabiskan sore hari hanya untuk bermain telepon pintar. Malamnya, setelah adzan isya gwa pamit dengan ibu Dhea, sedangkan ayahnya lagi keluar rumah katanya.
            Sepanjang perjalanan, gwa berpikir bagaimana cara nya agar bisa menambah waktu libur ini? Besok sudah kembali sekolah dan kembali bertemu guru juga pelajaran yang terkadang membuat bosan. Masih ingin di Cirebon, itu yang terlintas di pikiran gwa. Suasana yang tenang dan jamuan yang ramah dari keluarga Dhea membuat gwa nyaman.
            Di dalam kereta gwa kembali berpikir, pergi kemana liburan selanjutnya? Bengkulu? Banjarmasin? Balikpapan? Padang? Bangka? Cukup jauh dan mahal ongkosnya, jelajah Jawa saja dulu. Ngawi? Pekalongan? Garut? Cilegon? Bekasi?? Terlalu dekat… hmmmmmm…
            Dan kereta pun sampai di Ibukota tepat pada waktu yang tertera pada tiket. Ayah sudah menjemput dan menunggu di pintu keluar, semoga saja tidak bingung untuk gwa mencarinya seperti mencari si Dhea pada pintu keluar stasiun Cirebon Prujakan tiga hari yang lalu.
            Tidak ada oleh-oleh yang gwa bawa, hanya pengalaman dan cerita yang bisa gwa bagikan kepada banyak orang sekitar.
            Selanjutnya, kemana? ….

Tuesday, May 07, 2019

Ini Yang Gwa Cari (Cirebon #2)

              Ketika gwa terbangun dari tidur, ternyata matahari masih bersiap untuk menyinari kota udang. Ya sudah kembali lanjuti tidur yang terpotong di saat langit gelap yang ditemani bintang-bintang yang bersinar dikejauhan. Sampai akhirnya, gwa kembali terbangun dan kali ini mentari telah bersinar dengan cukup terang.
            “Sarapan dulu ka, serabi ni ka” ajak Ibu Dhea
            Tetapi dengan perasaan tak enak, gwa pun menolak ajakan tersebut. Bukan karena tidak suka apalagi sombong melainkan gwa tipe orang yang gak suka sarapan (sebenarnya) sesaat baru bangun tidur. Kecuali kalau perut ini benar-benar lapar, hehehe…
            Dhea sudah terlebih dulu mandi dan sudah siap untuk membawa gwa berkelana kemana dan dimana. Setelah nyawa sudah terkumpul, gwa pun mandi dengan air yang cukup dingin khas pedesaan. Gwa mengatakan pedesaan karena air yang seperti baru keluar dari lemari es itu gak pernah gwa temuin di Jakarta dan hanya gwa temui saat gwa berkelana ke tempat yang memang posisinya lebih tinggi (MDPL) dari Jakarta. Norak gak sih? Hahahaha..
            Setelah siap, Dhea langsung membawa gwa pergi ke suatu tempat yang gwa belum tau dimana karena gwa juga belum tau mau kemana. Yang jelas, tempat tersebut haruslah berhubungan dengan alam khas pedesaan yang mungkin tidak bisa gwa jumpai di Jakarta.
            Dengan mengendarai sepada motor, kami melaju melewati jalan utama menuju Kuningan bersama bis-bis besar, sesekali truk dan juga kendaraan pribadi, mobil ataupun motor (bukan perahu). Gwa begitu menikmati pemandangan yang disajikan dan juga menghirup udara segar yang tak biasa gwa hirup di Jakarta.
            Gunung Ciremai menjadi latar belakang pemandangan nan indah yang di kiri dan kanan tersajikan ladang pertanian, perumahan hingga yang gwa baru pertama kali liat ialah kebun kopi diantara pepohonan rindang yang menyejukan. Oh iya, setelah masuk kota Kuningan dan bergeser sedikit menuju kaki gunung Ciremai, gwa beberapa kali menutup hidung karena aroma peternakan sapi yang cukup menyengat hidung.
            Kami juga melintasi gedung pertemuan Linggarjati yang kini telah dijadikan museum. Karena ketika itu masih cukup pagi, belum banyak pengunjung yang datang. Sempat berpikir untuk masuk sih tapi entah mengapa gwa membatalkan niat tersebut karena sekira gwa begitu banyak pengunjung yang datang karena saat itu adalah libur yang cukup panjang, apalagi bagi orang yang bolos di hari kamis (18/4/2019) karena itulah hari kejepit nasional. Yang biasanya virus malas menyerang.
            Kembali ke cerita awal,  setelah melewati jalan khas perkotaan yang sedikit-sedikit tersendat kemacetan dan sinar mentari yang cukup menyengat, gwa dan dhea kembali masuk ke area yang mana telah gwa tunggu-tunggu. Rasa nya sudah berbeda saat beberapa pengendara berlalu-lalang sambil menggendong tas carrier. Patalungan memang merupakan salah satu dari tiga pintu resmi yang bisa digunakan para pendaki untuk naik ke gunung Ciremai.
            Hal tersebut membuat gwa sesekali teringat jikalau tidak ada halangan, harusnya hari itu kami telah sampai di puncak Ciremai. Ya, berakhayal hanyalah kegiatan yang banyak gwa lakukan bersama Dhea disana. Termasuk berkhayal mengenai rencana untuk gwa, Dhea, Risat, Adnan, Metha, Rzya, Denis, Rafi, Widya, Fudin, Azka dan Indah untuk kali pertama bertemu dan saling bercengkrama. Hal-hal seru tampaknya akan terjadi dan sudah terjadi didalam benak khayalan gwa. Tapi itulah akhayalan yang begitu saja sirna bersama air segar nan jernih yang jaruh dari ketinggian dengan pepohonan dan semak belukar yang menambah cantik pemandangan curug.
            Setelah puas, foto-foto, bermain air, cuci muka hingga minum dari kucuran air yang cukup besar. Kami pun mencari destinasi berikutnya.
            Saat perjalanan pulang gwa meminta Dhea untuk berhenti sejenak di tepi jalan yang menyuguhkan pemandangan begitu indah hingga gwa tak henti bersyukur kepada Tuhan atas ciptaannya. Terlihat kota yang luas dibawah sana dan juga gunung Ciremai yang berada dibelakang gwa. Setelah mengabadikan momen tersebut, kami kembali melanjutkan perjalanan.
            “Ciremai yok bangjek” ajakan si Dhea yang sambil mengendarai motor matic nya.
            “Hah? Maksudnya?” jawab gwa dengan cukup heran,
            “Ke kaki gunung Ciremai maksud gua tu… Lewat jalan yang samping museum” jelasnya dan gwa hanya mengamini saja.
            Ternyata jalan yang berada di samping gedung perundingan Linggarjati atau museum perundingan Linggarjati merupakan jalan menuju pintu masuk basecamp jalur pendakain gunung Ciremai via Linggarjati. Awalnya sih memang seperti jalan menuju pemukiman pada biasanya tapi setelah sekian kilometer jalan pun mengecil dan hamparan sawah dengan latar belakang gunung Ciremai pun terlihat di kirai dan juga kanan jalan. Sampai akhirnya, di jalan menanjak yang juga terjalan dan luasnya tak begitu lebar Dhea pun tak bisa melanjutkan hingga sampai atas. Sehingga harus kembali turun dengan hati-hati karena jalannya yang cukup mengerikan.
            Bahkan ada motor roda tiga yang biasa dipergunakan untuk mengangkut barang sampai-sampai roda depannya sedikit terangakat. Gwa yang melihat kejadian tersebut pun hanya bisa terdiam melihat si pengendara yang akhirnya berhasil melewati tanjakan maut tersebut hingga sampai di atas. Bener bener tegang sih, tapi yang sampai sekarang gwa bingung.. kenapa mereka atau orang kampung sekitar bisa melaluinya walau hanya dengan motor bebek atau bahkan ada juga yang menggunakan motor matic? Salut! Padahal gwa melihat motor yang sekiranya bisa melewati jalanan seperti itu pun hanya bisa terparkir di pinggir semak-semak.
            Karena itu pula, Dhea pun memparkir motornya di area yang landai. Lalu, kami berjalan bersama sepasang pendaki yang akan bermalam minggu di gunung Ciremai, romantis sepertinya...
            Kiri dan kanan pepohonan lebat yang tinggi sehingga sinar matahari terhalangi. Suasana pedesaan benar-benar terasa bagi gwa dengan sejuknya udara yang gwa hirup. Ketenangan juga begitu terasa sampai gwa pun berkata pada Dhea “Bentar ye Dhe, ini yang gwa cari…”. Belum sampai atas, kami kembali turun dan beralih memandangi hamparan sawah hijau yang begitu cantik.
            Sekiranya satu jam lebih gwa menghabiskan waktu hanya untuk menadangi karya yang maha kuasa. Dan setelah nya kami kembali ke Cirebon untuk mencari makan siang karena perut mulai berisik memprotes asupan gizi yang belum diterimanya.
            Di sepanjang perjalanan, gwa bertanya mengenai makanan khas Cirebon. Gwa pun penasaran dengan nasi jamblang juga mie koclok. Tapi entah mengapa kami tidak menemukannya, mungkin kurang beruntung dan gwa harus kembali ke Cirebon di lain waktu untuk mencicipi makanan khas kota udang.
            Nasi jamblang tidak ketemu, mie koclok juga tidak… adanya yang sejensi mie koclok, bukan mie ayam, itu udah biasa. Kami malah menyantap ramen, mie asal negeri matahari terbit. Setelah mengisi asupan untuk lambung, kami bergegas kembali ke rumah Dhea yang mana hari kian sore.
            Ketika sampai, kami saling bertukar cerita menarik mengenai pengalaman gwa dan Dhea selama di Jamnas tiga tahun silam. Tawa senang mengingat semasa jamnas adalah yang cukup asik untuk dilakukan apalagi kalo kita sama sama punya cerita yang juga asik untuk dibahas.

Saturday, May 04, 2019

Meninggalkan Ibukota (Cirebon #1)


            Pagi itu, ibukota diselimuti awan kelabu. Mendung belum tentu hujan dan hujan belum tentu mendung. Gwa berangkat dari rumah pukul 6.30 WIB menuju Stasiun Pasar Senen, diperjalanan ayah mengajak untuk sarapan bubur ayam terlebih dulu. Sedikit cemas karena waktu telah mengarah 7.15 WIB, dengan perkiraan waktu menuju stasiun sekitar 15 menit. Berarti sampai di stasiun sekitar pukul 7.30 WIB itu pun bila tidak terjebak kemacetan ibukota. Bila sial menimpa entah sampai stasiun jam berapa, sedangkan kereta berangkat pukul 7. 35 WIB.

            Pasrah sajalah, pukul 7.25 WIB gwa terjebak macet lampu merah persis di satu perempatan jalan sebelum stasiun. Waktu terus berjalan, ayah mengingatkan gwa untuk menyiapkan kartu tanda pengenal dan juga tiket elektronik yang telah gwa pesan sebelumnya. Sesaat sampai dan berpamitan dengan ayah, gwa lari-lari kecil mencari mesin pencetak tiket yang entah gwa tidak tau dimana. Dan untung saja, gwa masuk rangkaian kereta tepat dengan bunyi pemberitahuan jikalau kereta di persilahkan berangkat membawa penumpang.

            Syukurlah… Jumat, 19 April 2019. Gwa melancong ke kota udang, Cirebon.

            Ini merupakan kali pertama gwa berpergian seorang diri ke luar kota. Tentu akan menjadi pengalaman menarik bagi hidup gwa.

            Sepanjang perjalanan gwa menatap ke arah jendela kereta terpesona dengan pemandangan yang disuguhkan oleh Tuhan YME. Hamparan sawah, pemukiman hingga sungai bearus deras sebab hujan yang mengguyur di hulu sungai. Dan kereta pun sampai di Cirebon sesuai jadwal, tetapi Dhea, seorang teman jauh gwa yang juga purna Jamnas X terlambat menjemput. Sehingga butuh beberapa lama untuk gwa menunggu.

            “bangjek lu dimana? gua udah di pintu keluar” ujar nya via panggilan suara

            “bentar.. gwa udah di luar, lu dimana?” Tanya gwa yang bingung mencari perempuan mungil khas kota Cirebon tersebut.

            Selangkah ingin mencari di pintu masuk, Dhea pun tertawa. Tanpa berpikir panjang gwa tau jika itulah ia yang ternyata sedari tadi duduk di motor yang terparkir persis di depan gwa berdiri. Maklum lah, ini baru kedua kali nya kami bertemu. Yang sebelumnya kami pernah ketemu di acara Raimuna Nasional setahun setelah Jamnas.

            Ia menawari gwa mencicipi empal gentong, makanan khas Cirebon. Tapi gwa menolaknya, ia juga menawari makan nasi jamblang yang terkenal dari Cirebon, dan gwa kembali menolaknya. “kerumah lu dulu aja” dalih pembicaraan gwa.

            Tak banyak hal yang gwa lakukan setelah sampai kediaman Dhea yang berada sedikit keluar dari kota Cirebon. Hanya duduk dan beradaptasi dengan suasana juga lingkungan yang baru kali pertama gwa datangi sambil menyeruput teh manis buatan ibu nya Dhea yang begitu ramah menerima kedatangan gwa.

            Sebenarnya, rencana awala itu gwa, Dhea, Adnan beserta beberapa temannya ingin mendaki gunung Ciremai. Namun karena ada suatu hal, pendakian pun dibatalkan. Adnan yang tadinya merubah jadwal jadi sekedar mengunjungi dan menyusuri tiap lokasi yang ada di Cirebon dan sekelilingnya juga tidak jadi. Alhasil seorang diri yang melanjutkan perjanan karena tiket yang sudah dibeli.

            Lanjut… Sore hari nya, Dhea ngajak gwa buat menghabisi sore di sawah yang berada tidak jauh di belakang rumah nya. Karena memang itu permintaan gwa kepadanya “Jangan bawa gwa ke tempat yang udah biasa orang datengin, bawa aja ke tempat yang nature sama sawah” karena, kapan lagi gwa bisa melihat sawah. Di Jakarta sudah sulit menemukan sawah yang kian lama tergantikan oleh gedung-gedung tinggi dan pemukiman yang semakin padat. Ketenangan di sawah menjadi hal yang gwa cari.

            Gak terasa hari mulai gelap, adzan magrib berkumandang. Kami pun kembali ke rumah Dhea untuk mandi dan istirahat sebelum esok hari nya gwa berburu tempat menarik bersama Dhea.

© KATABANGJAKA