Kegiatan Teknologi Seni Budaya tuh seinget gwa ada di lapangan terbang dirgantara (LAPTERA). Gwa dan temen-temen ikut kegiatan di TSB itu pada siang hari setelah kegiatan air. Dan datang cukup telat karena sebelumnya ada kunjungan walikota, ramah tamah dengan para peserta dan pendamping ditemani oleh Ka Kwarcab, kakak-kakak andalan cabang, dan juga beberapa kakak-kakak panitia dari Jakarta Pusat. Tahu jika telat karena memang jarak dari tenda putri menuju Laptera yang sedikit lebih jauh dari GDV, kami pun tak kehabisan akal, melihat ada truk sampah yang mengarah ke arah Laptera, kami pun menumpangnya. Dengan riang gembira kami naik di bagian belakang truk hingga dekat pintu masuk laptera.
Di
TSB tiap kontingen minimal mengunjungi 3 sanggar, tapi gwa cuma ngunjungi 2
sanggar saja, aeromodeling dan TNI
(kalo gak salah). Mengapa hanya dua? Karena ketika di sanggar aeromodeling , hujan turun begitu deras
sehingga gwa dan yang lain terjebak dalam sanggar. Dikunjungan sanggar yang
berikutnya, gwa juga tidak banyak waktu karena waktu yang kian sore dan langit
yang kembali gelap.
Betul
saja, ketika kami berjalan pulang menuju tenda dan masih berada di sekitar
Laptera, hujan kembali turun cukup deras. Sebagian kavling di subcamp 5 pun sudah terendam air hingga
lebih dari semata kaki. Beberapa peserta mulai mancangkul tanah untuk membuat
parit kecil. Saat itu lah mulai muncul perasaan khawatir karena tablet dan handphone gwa tertinggal di tenda dengan
posisi tertumpuk tas-tas lainnya.
Bersamaan
dengan hujan yang semakin deras, gwa dan beberapa teman pun kembali menumpang
kendaraan, bedanya kali itu gwa menumpang mobil bak untuk mengangkut logistik
natura. Namun, tetap saja kami menghiraukan hujan dan juga tenda, kami justru
kegirangan dapat tumpangan gratis. Di atas mobil kami pun cukup menarik
perhatian sekitar, apa lagi kalau bukan menyoraki yel-yel dan bernyanyi-nyanyi.
Kegembiraan
itu sekejap berubah ketika sampai depan kavling, sekeliling tenda sudah
terendam air. Hal yang pertama kali terpikirkan oleh gwa adalah masuk ke dalam
tenda untuk menyelematkan barang-barang yang gwa tinggal. Benar saja, tas-tas
gwa sudah terndam air. Ketika gwa mengangkat tablet dan handphone sudah seperti mengangkat jemuran yang baru banget dicuci,
air mengucur dari lubang-lubang tablet. Panik dan pasrah, itulah yang gwa
rasakan dan lakukan ketika mengetahui tablet sudah korslet. Yups, ketika gwa
mencoba menyalakan tablet, layarnya sudah berkedap-kedip, dan sebagian lagi
sudah mati total. Tidak tinggal diam, gwa langsung membongkar tablet, bermaksud
untuk mengecek bagian dalamnya, mungkin masih bisa diselamatkan ketika sudah kering.
Namun, hal itu mustahil terjadi, tapi gwa masih dapat bersyukur karena handphone gwa tidak begitu terendam sehingga tidak rusak.
Kemudian,
langkah berikutnya yang kami lakukan adalah membagi tugas, sebagian orang
membuat parit di sekliling tenda dan kavling, sisanya merapikan barang-barang
ke tempat yang lebih tinggi dari permukaan air. Setelah air di dalam kavling
sudah mulai surut, saat itu pula kami merubah posisi tenda. Mengapa tenda kami
bisa terndam banjir? Kami sebelumnya tidak tahu bahwa posisi tenda kami berdiri
adalah cekungan yang cukup dalam ternyata.
Setelah
pekerjaan selesai, gwa pun tidak mau larut dalam kesedihan dan terlalu
memikiran tablet yang rusak. Bersama Kak Adib (pendamping koncab) dan juga
Givar, kami berbincang mengenai cinta di Jamnas atau dikatakan juga sebagai
“Cinta Sepatok Tenda”. Dimana menurut Kak Adib “Ngapain lo pacaran di Jamnas,
nanti pas jamnas udah kelar juga bakal putus”, seakan menasihati Givar yang
ketika itu dekat dengan teman sekontingen dan beberapa orang lainnya. Dan gwa
ketika itu setuju dengan pendapat Kak Adib, bukan karena apa dan mengapa, hanya
saja gwa membela diri yang ketika itu tidak ada kedekatan dengan peserta jamnas
lainnya. Biar hati gak galau-galau banget boy kalo liat peserta lain jalan
berdua pacarnya. Wgwgwg.
No comments
Post a Comment