Pagi
itu, ibukota diselimuti awan kelabu. Mendung belum tentu hujan dan hujan belum
tentu mendung. Gwa berangkat dari rumah pukul 6.30 WIB menuju Stasiun Pasar
Senen, diperjalanan ayah mengajak untuk sarapan bubur ayam terlebih dulu.
Sedikit cemas karena waktu telah mengarah 7.15 WIB, dengan perkiraan waktu
menuju stasiun sekitar 15 menit. Berarti sampai di stasiun sekitar pukul 7.30
WIB itu pun bila tidak terjebak kemacetan ibukota. Bila sial menimpa entah
sampai stasiun jam berapa, sedangkan kereta berangkat pukul 7. 35 WIB.
Pasrah
sajalah, pukul 7.25 WIB gwa terjebak macet lampu merah persis di satu
perempatan jalan sebelum stasiun. Waktu terus berjalan, ayah mengingatkan gwa
untuk menyiapkan kartu tanda pengenal dan juga tiket elektronik yang telah gwa
pesan sebelumnya. Sesaat sampai dan berpamitan dengan ayah, gwa lari-lari kecil
mencari mesin pencetak tiket yang entah gwa tidak tau dimana. Dan untung saja,
gwa masuk rangkaian kereta tepat dengan bunyi pemberitahuan jikalau kereta di
persilahkan berangkat membawa penumpang.
Syukurlah…
Jumat, 19 April 2019. Gwa melancong ke kota udang, Cirebon.
Ini
merupakan kali pertama gwa berpergian seorang diri ke luar kota. Tentu akan
menjadi pengalaman menarik bagi hidup gwa.
Sepanjang
perjalanan gwa menatap ke arah jendela kereta terpesona dengan pemandangan yang
disuguhkan oleh Tuhan YME. Hamparan sawah, pemukiman hingga sungai bearus deras
sebab hujan yang mengguyur di hulu sungai. Dan kereta pun sampai di Cirebon
sesuai jadwal, tetapi Dhea, seorang teman jauh gwa yang juga purna Jamnas X
terlambat menjemput. Sehingga butuh beberapa lama untuk gwa menunggu.
“bangjek
lu dimana? gua udah di pintu keluar” ujar nya via panggilan suara
“bentar..
gwa udah di luar, lu dimana?” Tanya gwa yang bingung mencari perempuan mungil
khas kota Cirebon tersebut.
Selangkah
ingin mencari di pintu masuk, Dhea pun tertawa. Tanpa berpikir panjang gwa tau
jika itulah ia yang ternyata sedari tadi duduk di motor yang terparkir persis
di depan gwa berdiri. Maklum lah, ini baru kedua kali nya kami bertemu. Yang
sebelumnya kami pernah ketemu di acara Raimuna Nasional setahun setelah Jamnas.
Ia
menawari gwa mencicipi empal gentong, makanan khas Cirebon. Tapi gwa
menolaknya, ia juga menawari makan nasi jamblang yang terkenal dari Cirebon,
dan gwa kembali menolaknya. “kerumah lu dulu aja” dalih pembicaraan gwa.
Tak
banyak hal yang gwa lakukan setelah sampai kediaman Dhea yang berada sedikit
keluar dari kota Cirebon. Hanya duduk dan beradaptasi dengan suasana juga
lingkungan yang baru kali pertama gwa datangi sambil menyeruput teh manis
buatan ibu nya Dhea yang begitu ramah menerima kedatangan gwa.
Sebenarnya,
rencana awala itu gwa, Dhea, Adnan beserta beberapa temannya ingin mendaki
gunung Ciremai. Namun karena ada suatu hal, pendakian pun dibatalkan. Adnan
yang tadinya merubah jadwal jadi sekedar mengunjungi dan menyusuri tiap lokasi
yang ada di Cirebon dan sekelilingnya juga tidak jadi. Alhasil seorang diri
yang melanjutkan perjanan karena tiket yang sudah dibeli.
Lanjut…
Sore hari nya, Dhea ngajak gwa buat menghabisi sore di sawah yang berada tidak
jauh di belakang rumah nya. Karena memang itu permintaan gwa kepadanya “Jangan
bawa gwa ke tempat yang udah biasa orang datengin, bawa aja ke tempat yang nature sama sawah” karena, kapan lagi
gwa bisa melihat sawah. Di Jakarta sudah sulit menemukan sawah yang kian lama
tergantikan oleh gedung-gedung tinggi dan pemukiman yang semakin padat.
Ketenangan di sawah menjadi hal yang gwa cari.
Gak
terasa hari mulai gelap, adzan magrib berkumandang. Kami pun kembali ke rumah
Dhea untuk mandi dan istirahat sebelum esok hari nya gwa berburu tempat menarik
bersama Dhea.
No comments
Post a Comment