“Sarapan
dulu ka, serabi ni ka” ajak Ibu Dhea
Tetapi
dengan perasaan tak enak, gwa pun menolak ajakan tersebut. Bukan karena tidak
suka apalagi sombong melainkan gwa tipe orang yang gak suka sarapan
(sebenarnya) sesaat baru bangun tidur. Kecuali kalau perut ini benar-benar
lapar, hehehe…
Dhea
sudah terlebih dulu mandi dan sudah siap untuk membawa gwa berkelana kemana dan
dimana. Setelah nyawa sudah
terkumpul, gwa pun mandi dengan air yang cukup dingin khas pedesaan. Gwa
mengatakan pedesaan karena air yang seperti baru keluar dari lemari es itu gak
pernah gwa temuin di Jakarta dan hanya gwa temui saat gwa berkelana ke tempat
yang memang posisinya lebih tinggi (MDPL) dari Jakarta. Norak gak sih?
Hahahaha..
Setelah
siap, Dhea langsung membawa gwa pergi ke suatu tempat yang gwa belum tau dimana
karena gwa juga belum tau mau kemana. Yang jelas, tempat tersebut haruslah
berhubungan dengan alam khas pedesaan yang mungkin tidak bisa gwa jumpai di Jakarta.
Dengan
mengendarai sepada motor, kami melaju melewati jalan utama menuju Kuningan
bersama bis-bis besar, sesekali truk dan juga kendaraan pribadi, mobil ataupun
motor (bukan perahu). Gwa begitu menikmati pemandangan yang disajikan dan juga
menghirup udara segar yang tak biasa gwa hirup di Jakarta.
Gunung
Ciremai menjadi latar belakang pemandangan nan indah yang di kiri dan kanan
tersajikan ladang pertanian, perumahan hingga yang gwa baru pertama kali liat
ialah kebun kopi diantara pepohonan rindang yang menyejukan. Oh iya, setelah
masuk kota Kuningan dan bergeser sedikit menuju kaki gunung Ciremai, gwa
beberapa kali menutup hidung karena aroma peternakan sapi yang cukup menyengat
hidung.
Kami
juga melintasi gedung pertemuan Linggarjati yang kini telah dijadikan museum.
Karena ketika itu masih cukup pagi, belum banyak pengunjung yang datang. Sempat
berpikir untuk masuk sih tapi entah mengapa gwa membatalkan niat tersebut
karena sekira gwa begitu banyak pengunjung yang datang karena saat itu adalah libur
yang cukup panjang, apalagi bagi orang yang bolos di hari kamis (18/4/2019)
karena itulah hari kejepit nasional. Yang biasanya virus malas menyerang.
Kembali
ke cerita awal, setelah melewati jalan
khas perkotaan yang sedikit-sedikit tersendat kemacetan dan sinar mentari yang
cukup menyengat, gwa dan dhea kembali masuk ke area yang mana telah gwa
tunggu-tunggu. Rasa nya sudah berbeda saat beberapa pengendara berlalu-lalang
sambil menggendong tas carrier. Patalungan
memang merupakan salah satu dari tiga pintu resmi yang bisa digunakan para
pendaki untuk naik ke gunung Ciremai.
Hal
tersebut membuat gwa sesekali teringat jikalau tidak ada halangan, harusnya
hari itu kami telah sampai di puncak Ciremai. Ya, berakhayal hanyalah kegiatan
yang banyak gwa lakukan bersama Dhea disana. Termasuk berkhayal mengenai
rencana untuk gwa, Dhea, Risat, Adnan, Metha, Rzya, Denis, Rafi, Widya, Fudin, Azka
dan Indah untuk kali pertama bertemu dan saling bercengkrama. Hal-hal seru
tampaknya akan terjadi dan sudah terjadi didalam benak khayalan gwa. Tapi
itulah akhayalan yang begitu saja sirna bersama air segar nan jernih yang jaruh
dari ketinggian dengan pepohonan dan semak belukar yang menambah cantik
pemandangan curug.
Setelah
puas, foto-foto, bermain air, cuci muka hingga minum dari kucuran air yang
cukup besar. Kami pun mencari destinasi berikutnya.
Saat
perjalanan pulang gwa meminta Dhea untuk berhenti sejenak di tepi jalan yang
menyuguhkan pemandangan begitu indah hingga gwa tak henti bersyukur kepada
Tuhan atas ciptaannya. Terlihat kota yang luas dibawah sana dan juga gunung
Ciremai yang berada dibelakang gwa. Setelah mengabadikan momen tersebut, kami
kembali melanjutkan perjalanan.
“Ciremai
yok bangjek” ajakan si Dhea yang sambil mengendarai motor matic nya.
“Hah?
Maksudnya?” jawab gwa dengan cukup heran,
“Ke
kaki gunung Ciremai maksud gua tu… Lewat jalan yang samping museum” jelasnya
dan gwa hanya mengamini saja.
Ternyata
jalan yang berada di samping gedung perundingan Linggarjati atau museum
perundingan Linggarjati merupakan jalan menuju pintu masuk basecamp jalur pendakain gunung Ciremai via Linggarjati. Awalnya
sih memang seperti jalan menuju pemukiman pada biasanya tapi setelah sekian
kilometer jalan pun mengecil dan hamparan sawah dengan latar belakang gunung
Ciremai pun terlihat di kirai dan juga kanan jalan. Sampai akhirnya, di jalan
menanjak yang juga terjalan dan luasnya tak begitu lebar Dhea pun tak bisa
melanjutkan hingga sampai atas. Sehingga harus kembali turun dengan hati-hati
karena jalannya yang cukup mengerikan.
Bahkan
ada motor roda tiga yang biasa dipergunakan untuk mengangkut barang
sampai-sampai roda depannya sedikit terangakat. Gwa yang melihat kejadian
tersebut pun hanya bisa terdiam melihat si pengendara yang akhirnya berhasil
melewati tanjakan maut tersebut hingga sampai di atas. Bener bener tegang sih,
tapi yang sampai sekarang gwa bingung.. kenapa mereka atau orang kampung
sekitar bisa melaluinya walau hanya dengan motor bebek atau bahkan ada juga
yang menggunakan motor matic? Salut!
Padahal gwa melihat motor yang sekiranya bisa melewati jalanan seperti itu pun
hanya bisa terparkir di pinggir semak-semak.
Karena
itu pula, Dhea pun memparkir motornya di area yang landai. Lalu, kami berjalan
bersama sepasang pendaki yang akan bermalam minggu di gunung Ciremai, romantis
sepertinya...
Kiri
dan kanan pepohonan lebat yang tinggi sehingga sinar matahari terhalangi.
Suasana pedesaan benar-benar terasa bagi gwa dengan sejuknya udara yang gwa
hirup. Ketenangan juga begitu terasa sampai gwa pun berkata pada Dhea “Bentar
ye Dhe, ini yang gwa cari…”. Belum sampai atas, kami kembali turun dan beralih
memandangi hamparan sawah hijau yang begitu cantik.
Sekiranya
satu jam lebih gwa menghabiskan waktu hanya untuk menadangi karya yang maha
kuasa. Dan setelah nya kami kembali ke Cirebon untuk mencari makan siang karena
perut mulai berisik memprotes asupan gizi yang belum diterimanya.
Di
sepanjang perjalanan, gwa bertanya mengenai makanan khas Cirebon. Gwa pun
penasaran dengan nasi jamblang juga mie koclok. Tapi entah mengapa kami tidak
menemukannya, mungkin kurang beruntung dan gwa harus kembali ke Cirebon di lain
waktu untuk mencicipi makanan khas kota udang.
Nasi
jamblang tidak ketemu, mie koclok juga tidak… adanya yang sejensi mie koclok,
bukan mie ayam, itu udah biasa. Kami malah menyantap ramen, mie asal negeri
matahari terbit. Setelah mengisi asupan untuk lambung, kami bergegas kembali ke
rumah Dhea yang mana hari kian sore.
Ketika
sampai, kami saling bertukar cerita menarik mengenai pengalaman gwa dan Dhea
selama di Jamnas tiga tahun silam. Tawa senang mengingat semasa jamnas adalah
yang cukup asik untuk dilakukan apalagi kalo kita sama sama punya cerita yang
juga asik untuk dibahas.
No comments
Post a Comment