Tuesday, May 07, 2019

Ini Yang Gwa Cari (Cirebon #2)

              Ketika gwa terbangun dari tidur, ternyata matahari masih bersiap untuk menyinari kota udang. Ya sudah kembali lanjuti tidur yang terpotong di saat langit gelap yang ditemani bintang-bintang yang bersinar dikejauhan. Sampai akhirnya, gwa kembali terbangun dan kali ini mentari telah bersinar dengan cukup terang.
            “Sarapan dulu ka, serabi ni ka” ajak Ibu Dhea
            Tetapi dengan perasaan tak enak, gwa pun menolak ajakan tersebut. Bukan karena tidak suka apalagi sombong melainkan gwa tipe orang yang gak suka sarapan (sebenarnya) sesaat baru bangun tidur. Kecuali kalau perut ini benar-benar lapar, hehehe…
            Dhea sudah terlebih dulu mandi dan sudah siap untuk membawa gwa berkelana kemana dan dimana. Setelah nyawa sudah terkumpul, gwa pun mandi dengan air yang cukup dingin khas pedesaan. Gwa mengatakan pedesaan karena air yang seperti baru keluar dari lemari es itu gak pernah gwa temuin di Jakarta dan hanya gwa temui saat gwa berkelana ke tempat yang memang posisinya lebih tinggi (MDPL) dari Jakarta. Norak gak sih? Hahahaha..
            Setelah siap, Dhea langsung membawa gwa pergi ke suatu tempat yang gwa belum tau dimana karena gwa juga belum tau mau kemana. Yang jelas, tempat tersebut haruslah berhubungan dengan alam khas pedesaan yang mungkin tidak bisa gwa jumpai di Jakarta.
            Dengan mengendarai sepada motor, kami melaju melewati jalan utama menuju Kuningan bersama bis-bis besar, sesekali truk dan juga kendaraan pribadi, mobil ataupun motor (bukan perahu). Gwa begitu menikmati pemandangan yang disajikan dan juga menghirup udara segar yang tak biasa gwa hirup di Jakarta.
            Gunung Ciremai menjadi latar belakang pemandangan nan indah yang di kiri dan kanan tersajikan ladang pertanian, perumahan hingga yang gwa baru pertama kali liat ialah kebun kopi diantara pepohonan rindang yang menyejukan. Oh iya, setelah masuk kota Kuningan dan bergeser sedikit menuju kaki gunung Ciremai, gwa beberapa kali menutup hidung karena aroma peternakan sapi yang cukup menyengat hidung.
            Kami juga melintasi gedung pertemuan Linggarjati yang kini telah dijadikan museum. Karena ketika itu masih cukup pagi, belum banyak pengunjung yang datang. Sempat berpikir untuk masuk sih tapi entah mengapa gwa membatalkan niat tersebut karena sekira gwa begitu banyak pengunjung yang datang karena saat itu adalah libur yang cukup panjang, apalagi bagi orang yang bolos di hari kamis (18/4/2019) karena itulah hari kejepit nasional. Yang biasanya virus malas menyerang.
            Kembali ke cerita awal,  setelah melewati jalan khas perkotaan yang sedikit-sedikit tersendat kemacetan dan sinar mentari yang cukup menyengat, gwa dan dhea kembali masuk ke area yang mana telah gwa tunggu-tunggu. Rasa nya sudah berbeda saat beberapa pengendara berlalu-lalang sambil menggendong tas carrier. Patalungan memang merupakan salah satu dari tiga pintu resmi yang bisa digunakan para pendaki untuk naik ke gunung Ciremai.
            Hal tersebut membuat gwa sesekali teringat jikalau tidak ada halangan, harusnya hari itu kami telah sampai di puncak Ciremai. Ya, berakhayal hanyalah kegiatan yang banyak gwa lakukan bersama Dhea disana. Termasuk berkhayal mengenai rencana untuk gwa, Dhea, Risat, Adnan, Metha, Rzya, Denis, Rafi, Widya, Fudin, Azka dan Indah untuk kali pertama bertemu dan saling bercengkrama. Hal-hal seru tampaknya akan terjadi dan sudah terjadi didalam benak khayalan gwa. Tapi itulah akhayalan yang begitu saja sirna bersama air segar nan jernih yang jaruh dari ketinggian dengan pepohonan dan semak belukar yang menambah cantik pemandangan curug.
            Setelah puas, foto-foto, bermain air, cuci muka hingga minum dari kucuran air yang cukup besar. Kami pun mencari destinasi berikutnya.
            Saat perjalanan pulang gwa meminta Dhea untuk berhenti sejenak di tepi jalan yang menyuguhkan pemandangan begitu indah hingga gwa tak henti bersyukur kepada Tuhan atas ciptaannya. Terlihat kota yang luas dibawah sana dan juga gunung Ciremai yang berada dibelakang gwa. Setelah mengabadikan momen tersebut, kami kembali melanjutkan perjalanan.
            “Ciremai yok bangjek” ajakan si Dhea yang sambil mengendarai motor matic nya.
            “Hah? Maksudnya?” jawab gwa dengan cukup heran,
            “Ke kaki gunung Ciremai maksud gua tu… Lewat jalan yang samping museum” jelasnya dan gwa hanya mengamini saja.
            Ternyata jalan yang berada di samping gedung perundingan Linggarjati atau museum perundingan Linggarjati merupakan jalan menuju pintu masuk basecamp jalur pendakain gunung Ciremai via Linggarjati. Awalnya sih memang seperti jalan menuju pemukiman pada biasanya tapi setelah sekian kilometer jalan pun mengecil dan hamparan sawah dengan latar belakang gunung Ciremai pun terlihat di kirai dan juga kanan jalan. Sampai akhirnya, di jalan menanjak yang juga terjalan dan luasnya tak begitu lebar Dhea pun tak bisa melanjutkan hingga sampai atas. Sehingga harus kembali turun dengan hati-hati karena jalannya yang cukup mengerikan.
            Bahkan ada motor roda tiga yang biasa dipergunakan untuk mengangkut barang sampai-sampai roda depannya sedikit terangakat. Gwa yang melihat kejadian tersebut pun hanya bisa terdiam melihat si pengendara yang akhirnya berhasil melewati tanjakan maut tersebut hingga sampai di atas. Bener bener tegang sih, tapi yang sampai sekarang gwa bingung.. kenapa mereka atau orang kampung sekitar bisa melaluinya walau hanya dengan motor bebek atau bahkan ada juga yang menggunakan motor matic? Salut! Padahal gwa melihat motor yang sekiranya bisa melewati jalanan seperti itu pun hanya bisa terparkir di pinggir semak-semak.
            Karena itu pula, Dhea pun memparkir motornya di area yang landai. Lalu, kami berjalan bersama sepasang pendaki yang akan bermalam minggu di gunung Ciremai, romantis sepertinya...
            Kiri dan kanan pepohonan lebat yang tinggi sehingga sinar matahari terhalangi. Suasana pedesaan benar-benar terasa bagi gwa dengan sejuknya udara yang gwa hirup. Ketenangan juga begitu terasa sampai gwa pun berkata pada Dhea “Bentar ye Dhe, ini yang gwa cari…”. Belum sampai atas, kami kembali turun dan beralih memandangi hamparan sawah hijau yang begitu cantik.
            Sekiranya satu jam lebih gwa menghabiskan waktu hanya untuk menadangi karya yang maha kuasa. Dan setelah nya kami kembali ke Cirebon untuk mencari makan siang karena perut mulai berisik memprotes asupan gizi yang belum diterimanya.
            Di sepanjang perjalanan, gwa bertanya mengenai makanan khas Cirebon. Gwa pun penasaran dengan nasi jamblang juga mie koclok. Tapi entah mengapa kami tidak menemukannya, mungkin kurang beruntung dan gwa harus kembali ke Cirebon di lain waktu untuk mencicipi makanan khas kota udang.
            Nasi jamblang tidak ketemu, mie koclok juga tidak… adanya yang sejensi mie koclok, bukan mie ayam, itu udah biasa. Kami malah menyantap ramen, mie asal negeri matahari terbit. Setelah mengisi asupan untuk lambung, kami bergegas kembali ke rumah Dhea yang mana hari kian sore.
            Ketika sampai, kami saling bertukar cerita menarik mengenai pengalaman gwa dan Dhea selama di Jamnas tiga tahun silam. Tawa senang mengingat semasa jamnas adalah yang cukup asik untuk dilakukan apalagi kalo kita sama sama punya cerita yang juga asik untuk dibahas.

No comments

© KATABANGJAKA