Wednesday, June 01, 2022

Soekarno, Ende dan Pancasila

 

Gambar 1. Rumah pengasingan Bung Karno di Ende (Dok. Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo)

Pada tahun 1934-1938, Soekarno diasingkan ke Ende oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan untuk membatasi interaksi dan aktivitas politknya. Pemikiran dan aktivitas politik Soekarno dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda karena dapat mempengaruhi rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan.

Sebelum diasingkan ke Ende, Soekarno dipindahkan sementara terlebih dulu ke Suarabaya bersama istri, mertua dan anak angkatnya. Di Surabaya, Soekarno diizinkan untuk bertemu dengan orang tuanya yang datang dari Blitar sebelum berpisah kembali. Dengan menggunakan kapal KPM Jan van Riebeeck, Soekanro dan keluarga berlayar selama delapan hari ke Ende di bawah pengawalan dua orang petugas Pemerintah Hindia Belanda. Di Ende, Hindia Belanda dan keluarga tinggal di rumah milih Pemerintah Hindia Belanda hingga tinggal di rumah milik Haji Abdullah Ambuwaru.

        Ende yang jauh lebih sepi jika dibandingkan Bandung, Jakarta, Surabaya ataupun kota besar lainnya sempat membuat Soekarno tertekan karena tidak dapat menjalankan aktvitas politiknya secara fisik seperti di Jawa. Namun, suasana Ende yang tidak ramai kota-kota besar membuat Soekarno banyak merenung dan berpikir mengenai banyak hal. Soekarno memperdalam agama islam dengan T.A. Hassan, guru Persatuan Islam di Bandung melalui surat-menyurat. Soekarno banyak mengkritisi umat islam yang percaya terhadap hadist-hadist lemah serta kiai dan ulama yang dianggap memiliki kesadaran terhadap sejarah ang lemah.

Selain itu, Soekarno juga bersahabat dengan pastor yang ada di Ende seperti Pater Huijtink dan Pater Bouma. Soekarno banyak membaca buku-buku yang ada di perpustakan pastoran dan berdiskusi mengenai banyak hal dengan para pastor.

Soekarno juga menyusun sekitar tiga belas naskah tonil atau drama bertemakan perjuangan melawan penjajahan yang dipentaskan oleh masyarakat Ende yang dikenal sebagai “Kelimoetoe Toneel Club”. Melalui kelompok tonil inilah Soekarno kembali membangkitkan semangat juangnya terhadap masyarakat Ende.

Soekarno pun merumuskan gagasannya mengenai falsafah bangsa Indonesia di bangku kecil di bawah pohon sukun berbatang lima. Gagasannya mengenai falsafah bangsa Indonesia pun dikemukakannya dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, yang kemudian melahirkan Pancasila. Pemikiran Soekarno selama di Ende mengenai Pancasila ditulis oleh Cindy Adams, seorang wartawati yang menulis biografi Soekarno:

“Aku lalu duduk dan memandang pohon itu. Dan aku melihat pekerjaan daripada Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat Brahmana Yang Maha Pencipta dalam tunas yang berkecambah di kulit kayu yang keabu-abuan itu. Aku melihat Shiwa yang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati yang gugur dari batangnya yang besar. Dan aku merasakan jaringan-jaringan yang sudah tua dalam badanku menjadi rontok dan mati di dalam.” “Pohon Sukun itu berdiri di atas sebuah bukit kecil yang menghadap teluk. Disana dengan pemandangan ke laut lepas tiada yang menghalangi dengan langit biru yang tidak ada batasnya dan megah putih yang menggelembung dan dimana sesekali seekor yang sedang bertualang lewat sendirian, disana itulah aku duduk melamun jam demi jam. Aku memandang samudra bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukul pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang naik dan pasang surut, namun ia terus menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti samudra luas, adalah ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada” (Batmomolin, 2001, hlm. 77–78).

Pulau Ende memiliki kedekatan dengan Soekarno dan Pancasila sehingga dikenal sebagai Kota Pancasila karena menjadi tempat Soekarno merumuskan gagasan awalnya mengenai falsafah bangsa Indonesia. Pohon sukun tempat di mana Soekarno bernaung dibawahnya pun dikenal sebagai pohon Pancasila. Namun, pohon sukun yang sekarang merupakan pohon yang baru ditanam kembali oleh pemerintah setempat karena pohon sukun yang asli telah mati sejak tahun 1970-an. Rumah pengasingan Soekarno yang sempat tidak terurus dengan baik, termasuk sepuluh situs lainnya kemudian direnovasi melalui program revitalisasi situs Bung Karno.

Daftar pustaka:

Sunaryo, Fransiska Dewi Setiowati. (2016). Revitalisasi Rumah Pengasingan Bung Karno di Kota Ende. Seminar Nasional Bahasa dan Budaya. Denpasar: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Wati, F. (2021). Toneel Club Kelimutu (Perjuangan Kemerdekaan Sukarno dari Ende-Flores 1934-1938. Santhet:(Jurnal Sejarah, Pendidikan, dan Humaniora)5(1), 6-25.

Samingan, S. (2020). Kajian Pemikiran Soekarno: Pancasila di Ende 1934-1938. Sejarah dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya14(2), 98-107.

Febriani, M. (2015). Pengasingan Soekarno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur Tahun 1934-1938 (skripsi). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

No comments

© KATABANGJAKA