Gambar 1. Rumah pengasingan Bung Karno di Ende (Dok. Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo) |
Pada
tahun 1934-1938, Soekarno diasingkan ke Ende oleh Pemerintah Hindia Belanda
dengan tujuan untuk membatasi interaksi dan aktivitas politknya. Pemikiran dan
aktivitas politik Soekarno dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda
karena dapat mempengaruhi rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap
penjajahan.
Sebelum
diasingkan ke Ende, Soekarno dipindahkan sementara terlebih dulu ke Suarabaya
bersama istri, mertua dan anak angkatnya. Di Surabaya, Soekarno diizinkan untuk
bertemu dengan orang tuanya yang datang dari Blitar sebelum berpisah kembali.
Dengan menggunakan kapal KPM Jan van Riebeeck, Soekanro dan keluarga
berlayar selama delapan hari ke Ende di bawah pengawalan dua orang petugas Pemerintah
Hindia Belanda. Di Ende, Hindia Belanda dan keluarga tinggal di rumah milih
Pemerintah Hindia Belanda hingga tinggal di rumah milik Haji Abdullah Ambuwaru.
Ende yang jauh lebih sepi jika dibandingkan Bandung, Jakarta, Surabaya ataupun kota besar lainnya sempat membuat Soekarno tertekan karena tidak dapat menjalankan aktvitas politiknya secara fisik seperti di Jawa. Namun, suasana Ende yang tidak ramai kota-kota besar membuat Soekarno banyak merenung dan berpikir mengenai banyak hal. Soekarno memperdalam agama islam dengan T.A. Hassan, guru Persatuan Islam di Bandung melalui surat-menyurat. Soekarno banyak mengkritisi umat islam yang percaya terhadap hadist-hadist lemah serta kiai dan ulama yang dianggap memiliki kesadaran terhadap sejarah ang lemah.
Selain
itu, Soekarno juga bersahabat dengan pastor yang ada di Ende seperti Pater Huijtink
dan Pater Bouma. Soekarno banyak membaca buku-buku yang ada di perpustakan
pastoran dan berdiskusi mengenai banyak hal dengan para pastor.
Soekarno
juga menyusun sekitar tiga belas naskah tonil atau drama bertemakan perjuangan melawan
penjajahan yang dipentaskan oleh masyarakat Ende yang dikenal sebagai “Kelimoetoe
Toneel Club”. Melalui kelompok tonil inilah Soekarno kembali membangkitkan
semangat juangnya terhadap masyarakat Ende.
Soekarno
pun merumuskan gagasannya mengenai falsafah bangsa Indonesia di bangku kecil di
bawah pohon sukun berbatang lima. Gagasannya mengenai falsafah bangsa Indonesia
pun dikemukakannya dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, yang kemudian melahirkan
Pancasila. Pemikiran Soekarno selama di Ende mengenai Pancasila ditulis oleh
Cindy Adams, seorang wartawati yang menulis biografi Soekarno:
“Aku lalu duduk dan memandang pohon itu.
Dan aku melihat pekerjaan daripada Trimurti dalam agama Hindu. Aku melihat
Brahmana Yang Maha Pencipta dalam tunas yang berkecambah di kulit kayu yang
keabu-abuan itu. Aku melihat Shiwa yang Maha Perusak dalam dahan-dahan mati yang
gugur dari batangnya yang besar. Dan aku merasakan jaringan-jaringan yang sudah
tua dalam badanku menjadi rontok dan mati di dalam.” “Pohon Sukun itu berdiri
di atas sebuah bukit kecil yang menghadap teluk. Disana dengan pemandangan ke
laut lepas tiada yang menghalangi dengan langit biru yang tidak ada batasnya
dan megah putih yang menggelembung dan dimana sesekali seekor yang sedang
bertualang lewat sendirian, disana itulah aku duduk melamun jam demi jam. Aku
memandang samudra bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukul
pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak
tak henti-hentinya. Pasang naik dan pasang surut, namun ia terus menggelora
secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami
tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti samudra luas, adalah
ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di
waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan
tanah airku, di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada” (Batmomolin, 2001, hlm.
77–78).
Pulau
Ende memiliki kedekatan dengan Soekarno dan Pancasila sehingga dikenal sebagai
Kota Pancasila karena menjadi tempat Soekarno merumuskan gagasan awalnya mengenai
falsafah bangsa Indonesia. Pohon sukun tempat di mana Soekarno bernaung dibawahnya
pun dikenal sebagai pohon Pancasila. Namun, pohon sukun yang sekarang merupakan
pohon yang baru ditanam kembali oleh pemerintah setempat karena pohon sukun
yang asli telah mati sejak tahun 1970-an. Rumah pengasingan Soekarno yang
sempat tidak terurus dengan baik, termasuk sepuluh situs lainnya kemudian direnovasi
melalui program revitalisasi situs Bung Karno.
Daftar
pustaka:
Sunaryo,
Fransiska Dewi Setiowati. (2016). Revitalisasi Rumah Pengasingan Bung Karno di Kota
Ende. Seminar Nasional Bahasa dan Budaya. Denpasar: Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana
Wati, F. (2021). Toneel Club
Kelimutu (Perjuangan Kemerdekaan Sukarno dari Ende-Flores 1934-1938. Santhet:(Jurnal
Sejarah, Pendidikan, dan Humaniora), 5(1), 6-25.
Samingan, S. (2020). Kajian
Pemikiran Soekarno: Pancasila di Ende 1934-1938. Sejarah dan Budaya: Jurnal
Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya, 14(2), 98-107.
Febriani, M. (2015). Pengasingan
Soekarno di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur Tahun 1934-1938 (skripsi). Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma
No comments
Post a Comment