Tuesday, January 04, 2022

Pindah Ibukota di Awal Tahun Baru

Biasanya, suasana natal dan tahun baru sudah mulai terasa ketika memasuki bulan Desember. Ornamen natal dan tahun baru pun dipasang menghiasi gedung-gedung, rencana liburan akhir tahun bersama teman pun sudah diatur sedemikian rupa untuk menikmati pergantian tahun. Namun, hal tersebut tampaknya tidak terasa pada tahun pertama kemerdekaan Indonesia.

Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda ingin kembali menguasai Indonesia dengan membonceng tentara Seukut NICA (Netherland Indies Civil Administration). Pada akhir tahun 1945, situasi di Jakarta sebagai ibukota dan pusat pemerintahan Republik Indonesia menjadi tidak kondusif. Terjadi terror dan intimidasi dari pasukan sekutu, pada 26 Desember 1945 sempat terjadi percobaan pembunuhan terhadap Perdana Menteri Sjahrir dan penembakan terhadap mobil Amir Sjarifuddin saat melintas di Jalan Pegangsaan pada 28 Desember 1945.

            Mengetahui hal tersebut, pada tanggal 2 Januari 1946, Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersurat kepada Presiden Soekarno mengenai kesiapan Yogyakarta sebagai ibukota negara. Menanggapi surat Sultan Yogya, keputusan pemindahan ibukota negara pun diputuskan pada sidang kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada 3 Januari 1946. Malam harinya, Soekarno dan Mohammad Hatta berangkat menuju Yogyakarta menggunakan kereta. Keesokan harinya, pada 4 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi ibukota Republik Indonesia.

            Ada beberapa pertimbangan dalam pengambilan keputusan pemindahan ibukota, diantaranya Soekarno-Hatta yang menjadi target Pemerintah Belanda untuk diajukan ke pengadilan militer sekutu karena dianggap sebagai penjahat perang. Sehubung dengan hal tersebut, Soekarno-Hatta yang dianggap sebagai tokoh penting bangsa Indonesia, maka sudah semestinya diberikan perlindungan. Selain itu, tentara sekutu yang sudah mulai menguasai Jakarta sehingga kinerja pemerintahan tidak berjalan kondusif.

Yogyakarta sendiri dipilih karena beberapa pertimbangan seperti letaknya yang cukup strategis sehingga mempermudah hubungan ke berbagai wilayah, baik melalui sarana transportasi maupun komunikasi. Suasana Yogyakarta pada masa itu juga revolusioner dan republiken dengan melihat kembali peranan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII dalam revolusi.  Organisasi dan proses demokrasi pemerintahan Yogyakarta pada masa itu pun dianggap menjadi yang paling maju dibandingkan dengan daerah lainnya. Kemudian, Markas Besar Tentara (MBT) juga berada di Yogyakarta di bawah kepemimpinan Jenderal Soedirman dan Jenderal Urip Sumohardjo sebagai staf umum Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Selain itu, juga terdapat beberapa markas laskar seperti Laskar Rakyat Mataram.

Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta pun kembali terdesak saat Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1949. Belanda masuk ke Yogyakarta diawali dengan pengeboman Bandara Maguwo (sekarang Bandara Adi Sucipto) dan melakukan penerjunan pasukan. Beberapa tokoh bangsa seperti Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya pun ditangkap pihak Belanda. Karena hal tersebut, dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera di bawah pimpinan Sjarifuddin Prawiranegara.

Referensi:

1.      Aryono. (2018). Tahun Baru, ibukota Baru. Diakses pada 2 Januari 2022 melalui https://historia.id/politik/articles/tahun-baru-ibukota-baru-PyJlV/page/1

2.              Wiranto, Joko. 2009. Kondisi Yogyakarta saat Perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta Tahun 1946-1949. (Skripsi S1, Universitas Negeri Semarang). Diakses pada 2 Januari 2022 melalui http://lib.unnes.ac.id/5061/1/5642.pdf

3.                Kompas. (2020). Hari Ini dalam Sejarah: Pemindahan Ibukota ke Yogyakarta. Diakses pada 3 Januari 2022 melalui Hari Ini dalam Sejarah: Pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta Halaman 3 - Kompas.com

No comments

© KATABANGJAKA