Biasanya, suasana natal dan tahun baru sudah mulai terasa ketika memasuki bulan Desember. Ornamen natal dan tahun baru pun dipasang menghiasi gedung-gedung, rencana liburan akhir tahun bersama teman pun sudah diatur sedemikian rupa untuk menikmati pergantian tahun. Namun, hal tersebut tampaknya tidak terasa pada tahun pertama kemerdekaan Indonesia.
Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan
Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda ingin kembali menguasai Indonesia
dengan membonceng tentara Seukut NICA (Netherland Indies Civil
Administration). Pada akhir tahun 1945, situasi di Jakarta sebagai ibukota dan
pusat pemerintahan Republik Indonesia menjadi tidak kondusif. Terjadi terror dan
intimidasi dari pasukan sekutu, pada 26 Desember 1945 sempat terjadi percobaan
pembunuhan terhadap Perdana Menteri Sjahrir dan penembakan terhadap mobil Amir
Sjarifuddin saat melintas di Jalan Pegangsaan pada 28 Desember 1945.
Mengetahui
hal tersebut, pada tanggal 2 Januari 1946, Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersurat
kepada Presiden Soekarno mengenai kesiapan Yogyakarta sebagai ibukota negara.
Menanggapi surat Sultan Yogya, keputusan pemindahan ibukota negara pun
diputuskan pada sidang kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada
3 Januari 1946. Malam harinya, Soekarno dan Mohammad Hatta berangkat menuju
Yogyakarta menggunakan kereta. Keesokan harinya, pada 4 Januari 1946, Yogyakarta
resmi menjadi ibukota Republik Indonesia.
Ada beberapa
pertimbangan dalam pengambilan keputusan pemindahan ibukota, diantaranya Soekarno-Hatta
yang menjadi target Pemerintah Belanda untuk diajukan ke pengadilan militer
sekutu karena dianggap sebagai penjahat perang. Sehubung dengan hal tersebut, Soekarno-Hatta
yang dianggap sebagai tokoh penting bangsa Indonesia, maka sudah semestinya
diberikan perlindungan. Selain itu, tentara sekutu yang sudah mulai menguasai
Jakarta sehingga kinerja pemerintahan tidak berjalan kondusif.
Yogyakarta sendiri dipilih karena
beberapa pertimbangan seperti letaknya yang cukup strategis sehingga
mempermudah hubungan ke berbagai wilayah, baik melalui sarana transportasi
maupun komunikasi. Suasana Yogyakarta pada masa itu juga revolusioner dan
republiken dengan melihat kembali peranan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri
Paku Alam VIII dalam revolusi. Organisasi
dan proses demokrasi pemerintahan Yogyakarta pada masa itu pun dianggap menjadi
yang paling maju dibandingkan dengan daerah lainnya. Kemudian, Markas Besar
Tentara (MBT) juga berada di Yogyakarta di bawah kepemimpinan Jenderal
Soedirman dan Jenderal Urip Sumohardjo sebagai staf umum Tentara Keamanan
Rakyat (TKR). Selain itu, juga terdapat beberapa markas laskar seperti Laskar
Rakyat Mataram.
Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta
pun kembali terdesak saat Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1949.
Belanda masuk ke Yogyakarta diawali dengan pengeboman Bandara Maguwo (sekarang Bandara
Adi Sucipto) dan melakukan penerjunan pasukan. Beberapa tokoh bangsa seperti Presiden
Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sjahrir dan beberapa
tokoh lainnya pun ditangkap pihak Belanda. Karena hal tersebut, dibentuklah
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera di bawah pimpinan Sjarifuddin
Prawiranegara.
Referensi:
1. Aryono. (2018). Tahun Baru, ibukota
Baru. Diakses pada 2 Januari 2022 melalui https://historia.id/politik/articles/tahun-baru-ibukota-baru-PyJlV/page/1
2. Wiranto, Joko. 2009. Kondisi
Yogyakarta saat Perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke
Yogyakarta Tahun 1946-1949. (Skripsi S1, Universitas Negeri Semarang). Diakses
pada 2 Januari 2022 melalui http://lib.unnes.ac.id/5061/1/5642.pdf
3. Kompas. (2020). Hari Ini dalam Sejarah: Pemindahan Ibukota ke Yogyakarta. Diakses pada 3 Januari 2022 melalui Hari Ini dalam Sejarah: Pemindahan Ibu Kota ke Yogyakarta Halaman 3 - Kompas.com
No comments
Post a Comment